Home » » KEPADA KHATIB YANG CURANG

KEPADA KHATIB YANG CURANG

Written By Sanghyang Mughni Pancaniti on Kamis, 23 Juli 2015 | 18.59

Berulang kali kita bertemu ibadah Shalat Jum’at, berulang kali juga kita mendengarkan Khotib menyampaikan khutbah. Setiap hari Jum’at, shalat Dhuhur yang berjumlah 4 rakaat itu berganti bentuk: 2 rakaat berwujud khutbah, 2 rakaat dengan tetap shalat. Tidak aneh jika khutbah berlangsung, banyak Ulama yang menegaskan bahwa berbicara adalah sesuatu yang dilarang, bahkan menggugurkan pahala jum’at itu sendiri. Kenapa demikian? Karena mendengarkan khutbah sama dengan melaksanakan Shalat, tentu berkata-kata menjadi sesuatu yang tidak dibenarkan.

         
Ketika khutbah menggantikan shalat yang berjumlah dua rakaat, maka waktu yang digunakan para Khotib dalam berceramah pun harus masuk akal. Katakan saja, sebagai pengganti shalat dua rakaat, Khotib seharusnya cukup mengutarakan khutbahnya sekitar tujuh menit, atau paling lama sepuluh menit. Akan tetapi, mereka sering melampaui waktu itu, bisa jadi lima belas menit, delapan belas menit, tiga puluh menit, bahkan ada yang satu jam. Benarkah shalat dua rakaat menghabiskan waktu sebanyak itu? Pemandangan ini sungguh lucu, ketika ia menggebu-gebu meluncurkan nasihat kebaikan, pada waktu yang sama ia berlaku curang. Kecurangan ini terlihat jelas dalam waktu. Menghargai waktu, tepat waktu, dan disiplin atas waktu, tentu ini bukan sesuatu yang boleh diremehkan.

           “Demi waktu, sesungguhnya manusia itu adalah makhluk yang merugi,” sindir al-Qur’an. “Salah satu ciri kesempurnaan akal seseorang adalah, ketika dia memendekan khutbah, dan memanjangkan shalat.” Kata Sang Nabi. Sekarang menjadi jelas masalahnya, bagaimana mungkin kita percaya pada kualitas seorang khotib, jika terhadap hal yang paling mendasar saja, yaitu waktu, orang ini gagal bertanggung jawab. Karena terlalu keasikan dengan nasihatnya, sampai lupa waktu. Ini kerugian. Baiklah jika hanya diri sendiri, bagaimana jika kerugian itu menggasak orang lain?

            Tidak sedikit kita bertemu dengan Khotib yang buruk mutunya, melantur kesana-kemari ucapannya, bahkan dia melanggar waktu yang seharusnya. Khotib semacam ini tidak hanya membuat bosan, tapi menciptakan kejengkelan bagi Jama’ah Jum’ah. Agama tidak mengamini membuat orang lain bosan, apalagi membuat kejengkelan. Maka jangan aneh jika akhirnya, para Jama’ah merasa ingin cepat selesai ibadahnya, atau melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak elok dilihat: Merokok, tertidur, berbincang, main handphone, atau berteriak “amin” sebagai ungkapan kekecewaan terhadap khutbah yang tak kunjung selesai. Ada kejengkelan yang diam-diam menjelma. Bagaimana mungkin ibadah sambil jengkel? Siapa yang siap menanggung dosanya?

       Beberapa pertanyaan itu tak lebih sekedar mengingatkan kepada para Khotib, bahwa sepanjang melibatkan orang lain, ia harus berhitung ketat soal etikanya, tektek bengeknya harus diperhatikan. Ketika sedang melayani orang lain, mereka itulah yang penting, bukan diri sendiri. Kepentingan mereka harus dipikirkan, harus didahulukan. Misalnya, kebanyakan para Jama’ah adalah karyawan di sebuah toko, perusahaan, atau apa saja. Bagi mereka, waktu Dhuhur adalah masanya beristirahat untuk shalat, makan, dan merebahkan badan barang sebentar. Paling lama, mereka diberi waktu oleh bosnya sekitar satu jam. Jika sekarang satu jam itu diperkosa oleh lamanya khutbah, berapa menit yang tersedia untuk mereka makan, sedikit berbincang, dan sedikit melepas lelah?

           Cara mementingkan orang lain itu bertingkat-tingkat. Jika bisa, senangkan jiwa dan hatinya. Itulah kenapa retorika dan komunikasi yang baik harus diutamakan. Jika ia tak mampu, bicaralah seperlunya. Dan jika masih belum mampu, bicaralah semampunya asal jangan melanggar waktu. Pesan Agama sebenarnya selalu memudahkan pemeluknya. Jika belum bisa memberikan kegembiraan, minimal jangan memancing kesebalan orang lain, apalagi kejengkelan. Inilah pemberian terendah. Meskipun rendah, Agama tetap memberikan penghormatan.

            Fenomena khotib yang berkhutbah terlalu lama ini, bisa saja menunjukan bahwa kebanyakan kita adalah para pemberi nasihat, atau sebatas pendengar nasihat. Buktinya, ribuan kali kita saling nasehat-menasehati kebaikan, tapi sehari-hari kita semua masih tetap jatuh cinta kepada keburukan. Khotib yang melanggar waktu dalam memberikan khutbah, yang membuat para jama’ahnya gagal untuk tidak berbuat sesuatu yang sah, maka biar Tuhan yang akan menghakiminya. Si penyebab, atau si akibat yang akan dijatuhi dosa?

Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2013 @ Pena Sanghyang Mughni Pancaniti
"Template by Maskolis"