Home » » ASEP SUNANDAR SUNARYA: "Abah Akan Pulang"

ASEP SUNANDAR SUNARYA: "Abah Akan Pulang"

Written By Sanghyang Mughni Pancaniti on Kamis, 23 Juli 2015 | 19.09

  Sudah lebih sepekan, masyarakat Indonesia, khususya masyarakat Sunda, berkabung atas wafatnya Maestro Wayang Golek H. Asep Sunandar Sunarya. Ribuan do’a dan ucapan belasungkawa, mengantarkannya menuju Yang Maha Dalang. Lelaki kelahiran 1955 itu telah berjasa dalam memperkenalkan kesenian wayang golek ke Persada Nusantara, bahkan mancanegara. Wayang golek seakan sudah menjadi darah yang tak bisa lepas dari dirinya. Ini bukan karena ia memiliki Ayah yang merupakan seorang Dalang, tapi ini adalah pilihan hidupnya. Sampai saat ini, tidak kurang dari 60 lakon wayang golek pernah ia pentaskan. Baik melalui televisi, radio, ataupun acara-acara yang diadakan masyarakat.

     Pada penghujung 2013, saya diperkenankan untuk bertemu Abah di kediamannya di desa Jelekong, Baleendah, Kabupaten Bandung. Selain ingin bersilaturahmi, saya hendak meneliti pemikiran Abah mengenai tokoh Semar Badranaya demi kepentingan Skripsi. Sampai hari ini, kesederhanaannya, keramahannya, dan keluasan ilmunya masih tetap menegas dalam rasa. Meski awalnya saya berniat mencari data yang dibutuhkan skripsi, namun keinginan itu tiba-tiba hilang, dalam benak ini hanya ingin mengaji, ngaguar elmu hirup bersama Abah Asep.

      Setelah bertanya tentang diri saya, tanpa dipinta, tiba-tiba Abah membuka perbincangan tentang Panto Sawarga yang hanya bisa dibuka oleh kerendahatian, kepedihan, dan kesiapan dalam menerima berbagai cobaan. “Sing daek peurih, ameh boga peurah.” Katanya menyitir sebuah pepatah. Menurut Abah, Kanjeng Rosul yang mulia itu, yang diberi kehormatan sebagai ‘Mandatarisnya Allah’, itu karena kerelaannya dalam menjalani kehidupan sepahit apapun. Tak ada kata menyerah, tak kenal mengiba, rela hancur lebur, yang penting Tuhan tidak marah kepadanya.

      Selanjutnya Abah berkata dengan sangat serius, “Semua tokoh wayang yang ada dalam kotak, semuanya ada dalam dirimu.” Tergagap saya mendengar kalimat ini. Tidak mengerti. Dalam cakrawala pengetahuannya, didalam diri manusia itu tertancap sifat Arjuna yang pimplan, Gatotkaca yang adil, Bima yang tegas, Yudhistira yang bijak, Semar yang ma’rifat, Astrajingga yang humoris, Dawala yang nyantri, Gareng yang abangan, Kurawa yang serakah, bahkan Dorna yang penuh tipu muslihat. Hanya sifat mana nanti yang lebih menonjol dalam diri seseorang. Abah hendak mengatakan, bahwa Wayang bukan dongeng atau cerita belaka, melainkan gambaran kahirupan manusa nu dipipindingan ku silib sindir, kahalangan ku sasmita jeung siloka, kalayan karimbunan ku gunung simbul.

      Mutiara hikmah yang diutarakannya tak sampai disitu, kembali ia mengajak saya untuk ngaguar elmu hirup, “Sasanget-sangetna leuweung, moal leuwih sanget tibatan sungut.!” Kata-kata ini sering abah ucapkan dalam banyak lakon wayang, dengan tafsiran bahwa lidah itu lebih menakutkan dan lebih membahayakan daripada hutan. Ketajaman lidah mampu mencabik hati seseorang, misalkan dengan menyindirnya, menghinanya, dan memfitnahnya. Kali ini berbeda, Abah mengartikan bahaya lidah itu dengan ‘syahwat lidah’ dalam memakan sesuatu. Sesungguhnya perut kita bisa menerima makanan yang seharga Rp.3.000 saja, dan dia tak akan protes. Tapi lidah, ia mampu membuat manusia untuk memasukan makanan yang harganya sepuluh ribu, seratus ribu, bahkan sejuta ke dalam perutnya. Tentu ini bukan sesuatu yang tidak fatal akibatnya. Untuk mendapatkan uang, demi memenuhi ketergantungannya kepada makanan mahal itu, manusia bisa rela saling siku, saling banting, saling rebut, bahkan saling bunuh. Dalam konteks ini, yang harus dihindari bukanlah syahwat perut, melainkan syahwat lidah. Karena efek yang ia ciptakan lebih menakutkan daripada hutan yang angker.

      “Maafkan Abah jika memiliki kesalahan, karena Abah akan pulang..” Kata Abah menutup perbincangan kami. Saya tersentak, tidak menerima, karena saya tahu pengertian “Pulang” yang abah maksudkan adalah mati. Ia seperti telah merasakan bahwa tak lama lagi nyawa akan meninggalkan raganya yang mulai rapuh, seakan tahu kalau Tuhan telah melambai-lambaikan Tangan-Nya untuk segera memeluknya. Kalimat “Abah akan pulang.” Ia ucapkan tanpa rasa takut, kerinduan di wajahnya terlihat menyala. Abah tidak mengartikan kematian dengan “Kepergian”, melainkan “Kepulangan” menemui Yang Maha Dalang. Kata-kata terakhirnya mengisyaratkan bahwa ia akan segera menuju akhirat, yang selalu ia bahasakan dalam lakon-lakon wayangnya dengan alam nirwana, alam asal, poe panjang. Nagara tunjung sampurna, nu baheula pernah kaalaman, ngan kahalangan ku poho, sabab poe kamari lain poe ayeuna.

    Tepat pada hari Senin, tanggal 31 Maret 2014, Abah menghembuskan nafas terakhirnya. Ia membuktikan ucapannya bahwa dirinya akan segera “pulang”, dan tak akan pernah kembali ke alam fana ini. Kita mungkin telah kehilangannya, pepatah Semar dan lelucon Cepot tak akan kita dengar lagi, namun di hati dan gerak kita, harapannya agar bangsa ini mau melestarikan budaya lokalnya, akan tetap menyejarah dan abadi. 

 Pernah dimuat di koran Radar Tasikmalaya (Jum'at 11-April-2014)
Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2013 @ Pena Sanghyang Mughni Pancaniti
"Template by Maskolis"