Tak bisa dibantah oleh pecinta Pagelaran Wayang Golek, selain alur cerita, ada dua tokoh yang sangat dinantikan kehadirannya: Astrajingga (Cepot) dan Semar Badranaya. Cepot adalah tokoh yang humor segarnya senantiasa didamba, sedangkan Semar adalah tokoh yang Nasihat-nasihat bijaknya ingin didengar. Tokoh ini yang akan kubicarakan.
Dari keseluruhan 'misteri' yang ada dalam simbol kedirian Semar, ada satu ungkapannya yang paling mengusik nalarku. Jika ia terkejut, terpana, bahagia, bahkan sedih, ia pasti berucap, "Ambuing.. ambuing..". Dari mula, aku selalu yakin, tokoh Semar Badranaya tak diciptakan hanya untuk main-main. Setiap lekuknya, dari ujung kepala sampai kaki, pasti dipendamkan makna yang tak biasa. Pasti.!
Maka pada tahun 2013, aku membuat Skripsi yang khusus mengurai makna-makna yang ada pada simbol-simbol Semar, dengan sudut pandang orang Sunda, melalui Asep Sunandar Sunarya. Aku mencoba membuka tirai filosofis yang ada dibalik warna dan bentuk tubuhnya, rambutnya, cara berjalannya, namanya, gelarnya, semuanya. Kecuali satu, ya "Ambuing ambuing" itu.!
Sampai akhirnya, pada tahun 2014, aku bertemu dengan Pak Enoh, mantan Rektor STSI Bandung. Selain karena ia sedang studi S3 di Pascasarjana UIN Bandung, dia juga merupakan pelanggan buku-buku yang kujual. Darinya aku tahu, Ambuing adalah Ambu, atau Ibu.!
Jika benar demikian, bahwa Ambuing punya arti Ibu, kemudian diteriakkan Semar secara berulang-ulang, beginilah aku memaknainya:
Pertama. Dalam mitologi Sunda, sosok yang paling diagungkan, salah satunya adalah Sunan Ambu. Sunan berasal dari kata 'Suhunan', atau yang ada di atas, yang ditinggikan. Sedangkan Ambu adalah ibu itu sendiri. Karena masyarakat kita pada dasarnya adalah Matriarkal, maka yang diagungkan dan ditinggikan adalah perempuan, ibu. Dia menjadi tempat kembali manusia, baik secara fisik maupun psikis. Tak heran, ketika bahagia, terkejut, terpana, sedih, Semar akan bersenandung "Ambuing.. ambuing.". Dalam posisi apapun, yang akan disebut dan diingat pertama kali oleh manusia, adalah perempuan, ibu.!
Kedua. Ketika Semar berteriak Ambuing, dia seakan meminta kita untuk tidak melupakan 'sudut pandang perempuan', yang selama ini ditinggalkan negeri ini dalam banyak ranah. Mulai dari keputusan politik, penyusunan anggaran negara, pelaksanaan pembangunan, sampai kepada ceruk kehidupan terkecil, yaitu keluarga, hampir semuanya menggunakan sudut pandang laki-laki.
Misalnya, jika sebuah kota dibangun, konsep tata kotanya hampir mudah dibayangkan, itu pasti kota dalam sudut pandang laki-laki. Begitu pula dengan taman-taman kota yang sebagian berwajah maskulin. Atau jika sebuah pasar diciptakan, ia pasti hasil imajinasi laki-laki, meskipun para pedagangnya kebanyakan adalah perempuan. Bahkan dalam manajemen penanganan bencana pun, refleks gerakannya adalah refleks laki-laki. Buktinya, barang paling menumpuk di lokasi bencana selalu pakaian pantas pakai dan gunungan mie instan. Sementara barang-barang lain semacam pembalut, popok bayi, ember dan selang, tidak pernah terpikirkan. Luput dari perhatian.! Juga genderang-genderang perang yang ditabuh antarmanusia, itu kebanyakan hasil keputusan laki-laki. Karena yang aku ketahui, perempuan itu jangankan menyaksikan genangan darah dari mayat-mayat manusia, melihat yang bertengkar saja, dia akan tergigil tak tega.
Jika diamati, alangkah banyak kemajuan yang menjadi terlalu maju, dan runtuhnya cuma buru-buru. Banyak gerakan yang terlalu cepat, namun hasilnya malah keliru. Mungkin ini dikarenakan, yang dominan dikerjakan adalah unsur Jalaliyyah Tuhan, sedangkan unsur Jamaliyah-Nya dialpakan. Keseimbangan yang harusnya ada malah sirna.!
Aku teringat Prie G.S, bahwa saripati sudut pandang perempuan itu sendiri adalah kedudukannya sebagai ibu. Hampir seluruh gerakan 'pulang' dari seseorang yang sedang rindu, selalu berpusat pulang kepada ibu: suami pulang ke istrinya, anak pulang ke ibu, dan cucu pulang ke nenek. Jadi, ibu adalah tempat seluruh nilai nenemukan muara. Maka kini aku mengerti, kenapa surat 'Al-Fatihah' dinamai 'Ummul Qur'an', Ibunya al-Qur'an, karena semua kandungan al-Qur'an bermuara di sana.
Di hadapan kalian, kini kutegaskan, sesungguhnya, pemimpin Negeri yang kubutuhkan, Pemuka Agama yang kudambakan, dan pendidik yang kurindukan, adalah mereka yang punya watak keibuan. Karena jika para Pemimpin, Pemuka Agama dan Pendidik, terus-menerus tenggelam dalam 'watak kebapakan', dan tidak diimbangi dengan 'watak keibuan', niscaya hidupku pasti tak akan hidup, sesuatu yang membuat Rendra bergidik ngeri.
(Tulisan ini dikutip dari Novel Perpustakaan Kelamin karya Sanghyang Mughni pancaniti)
Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
0 komentar:
Posting Komentar