Home » , » KYAI DAN PUISI

KYAI DAN PUISI

Written By Sanghyang Mughni Pancaniti on Rabu, 09 Maret 2016 | 08.57


Kyai dan Puisi. Kombinasi ini selalu aku sukai. Dari dulu.! Tak semua orang diberi anugrah untuk mau dan mampu berpuisi, karena tak semua siap mengutarakan kehidupan menggunakan mata hati, dengan hati-hati. Lalu apa jadinya, jika yang berpuisi adalah Kyai? Entahlah, setiap Puisi yang ditulis seorang Kyai, aku selalu melihat ketersenyuman iman di sana, kebijaksanaan dalam memandang, dan kelembutan saat menyampaikan. Mereka seolah telah menemukan jawab, kenapa Tuhan menurunkan ayat-Nya dengan bahasa yang Puitis.

Aku telah melihat puisi seorang Cak Nun, seorang Gus Mus, seorang Acep Zamzam Noor, dan Kyai-kyai lainnya, dan aku sangat tenang. Termasuk Ulama-ulama besar dunia, yang juga menjadikan Puisi sebagai lumbung ketercerahan. Sebut saja Maulana Jalaluddin Rumi, Fariduddin Ath-Thar, Muhammad Iqbal, Hafidz, tak terhitung.

Beberapa bulan terakhir, aku sering memperhatikan Kyai Tubagus Al-Mubarokh, pimpinan pondok Pesantren al-Mubarokh Bekasi. Melalui status-status Facebooknya, banyak puisi yang ia postingkan. Selain puisi-puisinya yang hampir semua bertema Cinta dan Kebijaksanaan, dia pun sering memposting ulang puisi-puisi Penyair Besar. Bahkan tak jarang, mutiara-mutiara Bijak dari Tokoh-tokoh Agama dunia ia kumandangkan. Budha, misalnya, Yesus, dan tentu Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Ia seperti ingin menjewantahkan Sabda Sang Nabi, "Hikmah adalah sesuatu yang hilang dari seorang Muslim. Maka dimanapun kalian menemukannya, ambillah."

Yang ingin kukaji dalam tulisan ini, adalah tentang salah satu puisinya yang menggelitik nalarku. Puisi itu pendek, namun tak sependek pesan yang membenam di tubuhnya.

JIKA CINTA TELAH USAI
BENCI JANGAN DIMULAI

Hanya sebatas itu puisi Kyai Tubagus, tak lebih. Sederhana.!

Puisi yang terdiri dari dua baris itu, bagiku, ingin mencoba melabrak sebuah diktum yang mengatakan, "Kebencian adalah cinta yang dilukai.!". Memang benar, kebencian pada seseorang yang melekat pada diri kita, seringkali karena cinta yang pernah kita haturkan padanya malah dilukai, dikecewakan, ditusuk.! Contoh sederhana, tak sedikit orang yang mungkin pernah dilukai oleh kekasih. Cinta yang selalu melumuri dirinya, akhirnya terhapus dan terganti benci.

Biasanya, orang yang kita benci hari ini, adalah orang yang kita cinta di masa lalu. Tentu ini tak melulu bicara hubungan kekasih, ini juga terjadi pada hubungan antar teman, antar murid dan guru, antar relasi bisnis, termasuk antar anggota dengan partai dan ormasnya.

Akan kuberi contoh kasus yang terakhir. Di Bandung, ada seorang Kyai yang awalnya sangat mencintai Ormas Nahdlatul Ulama, dan ikut berkecimpung dalam struktural kepengurusan. Karena beberapa hal, dia tak lagi diberi ruang di ormas besar itu, juga tak diberi celah, lalu kecintaannya seketika mewujud jadi kebencian. Dia kemudian bikin ormas, mudah menyesatkan banyak orang, bahkan tak jarang mengeluarkan fatwa 'Menghalalkan Darah', terutama terhadap orang yang punya 'pikiran liar' di tubuh NU.

Kebencian, membuat kita tak lagi mampu jernih dalam memandang, dalam memutuskan, dalam keadilan, mengerikan.! Kasus-kasus Cinta yang dilukai, lalu jadi benci, akan kita banyak temukan dalam setiap ceruk lintasan sejarah. Silahkan telusuri.!

Puisi Kyai Tubagus, sepertinya, bisa kita jadikan semacam obor penerang, jika satu ketika cinta kita telah usai pada seseorang, jangan menggantinya dengan benci, jangan coba untuk memulainya, karena dia tak mudah mati. Seandainya benci telah mengkristal pada hati dan jiwa, bersiap-siaplah untuk melakukan banyak 'kedunguan'.

Aku sendiri pernah sangat dilukai, oleh orang yang sangat kucintai. Tapi aku bersyukur, karena tak pernah membencinya sampai hari ini. Kepada diri aku selalu memberikan hiburan, "Luka yang menghantammu adalah takdir. Dan seperti kau ketahui, tak ada yang gagal dalam takdir Tuhan. Luka itu adalah bagian dari sejarahmu, dan pasti kau pernah dengar dari Kanjeng Nabi Muhammad, sesungguhnya sejarahmu adalah hartamu."

Karena sejarah lukaku adalah hartaku, kuputuskan untuk mengkrangkengnya pada sebuah karya, yakni Novel Tahun Tanpa Tuhan. Harus kuakui, justru karena luka itulah, karena Novel itulah, aku selalu terhasut untuk menulis, menulis, menulis, dan membaca puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul 'Luka', yang isinya cuma kalimat 'Ha..ha'.

Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2013 @ Pena Sanghyang Mughni Pancaniti
"Template by Maskolis"