MUSLIM PERTAMA
Written By Sanghyang Mughni Pancaniti on Jumat, 30 Juni 2017 | 05.16
Harus saya akui, ledakan keinginan untuk membaca sejarah Kanjeng Nabi Muhammad secara lebih serius, adalah ketika selesai menjelajahi buku 'Muslim Pertama' karya Lesley Hazelton. Buku yang bagi saya, telah menumbuhkan kesadaran-kesadaran baru dalam memandang Nabi Agung itu. Terutama dalam posisinya sebagai 'Basyar', manusia pada umumnya.
Salah satu yang paling saya sorot dalam karya megah Lesley ini, adalah peristiwa pengangkatan Muhammad sebagai nabi. Lesley menggambarkan moment ini dengan sangat manusiawi.
"Ketika Muhammad menerima wahyu Tuhan dan diangkat sebagai utusan-Nya, lelaki ini tidak serta merta bangga dan bahagia. Dia tidak menuruni gunung sambil teriak 'Haleluuya.. haleluuya..', atau berlari kegirangan sambil mengucapkan 'Eureka!!'. Tidak! Muhammad justru didera ketakutan, keterpanaan, dan ketidakpercayaan pada apa yang baru saja dialaminya di Hira. Bahkan di pelukan Khadijah istrinya, ia tenggelam dalam rasa takut paling purba." demikian tulis Lesley.
Penggambaran Lesley ini langsung saya tabrak, tak mungkin ini terjadi pada diri sang nabi. Siapa yang tak ingin 'bercengkrama' dengan Tuhan? Pertemuan menakjubkan ini mestinya membuat seorang hamba dihujam bahagia yang tak tergambar. Jadi mana mungkin seorang Muhammad ketakutan, bahkan tak percaya dengan apa yang terjadi.
Tapi rupanya, Lesley tahu bakal ada orang yang bertanya seperti saya, sehingga ia melanjutkan tulisannya, "Jika anda menganggap ketakutan Muhammad adalah sesuatu yang mustahil, itu tak lain karena anda melihat orang-orang suci di kemudian hari, yang menganggap pertemuan dengan Tuhan adalah puncak dari segalanya, puncak dari seluruh keinginan dan pencarian."
Kengerian Muhammad saat diangkat menjadi nabi untuk seluruh manusia di gua hira, akhirnya saya percayai. Sebab perasaan itu memang sangat manusiawi. Peristiwa ini membuat saya berlari pada diri sendiri.
Ketika Muhammad diangkat sebagai manusia tertinggi, seorang Nabi akhir zaman, ia tak serta merta membuat acara pesta pora, atau sekedar mendamik dada bahwa "Aku memang pantas punya derajat tinggi". Sedangkan saya? Jangankan diangkat menjadi nabi, diangkat menjadi wali atau ulama saja, atau dilantik menjadi kyai dan ustadz saja, perasaan bangga dan sombong bisa seketika meledak dan melambung tinggi.
Seorang kawan pernah berkata pada saya, "Kamu sudah pantas jadi ustadz,"
Lalu saya berteriak sambil menepuk dada, "Aing atuh anjing!"
Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
Baca Juga Tulisan Saya Yang Lain
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar