Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
Sudah
beberapa bulan ini saya tergabung dalam sebuah komunitas yang khusus menggeluti
dunia kepenulisan. Komunitas ini bernama Forum Pe-SK (bukan Pegawai Seks
Komersial), yang hanya beranggotakan enam orang mahasiswa jurusan komunikasi
yang terdiri dari tiga laki-laki dan tiga perempuan. Walau komunitas ini hanya
dihuni oleh segelintir orang, para anggota tetap antusias dalam mengikuti
diskusi rutin yang dilaksanakan satu minggu dua kali.
Siang tadi saya menghadiri diskusi
rutin yang biasa diselenggarakan oleh forum tersebut, dan teman saya yang juga
anggota Pe-SK menjadi narasumber diskusi minggu ini. kami sangat khusyu
mendengar pemaparan sang narasumber, namun kami sedikit terganggu oleh salah satu
anggota yang terus bercanda di tengah-tengah diskusi itu, akhirnya saya pun
menegur anggota tersebut dengan bertanya, ‘Jika
shalat ashar kamu suka jam berapa?’ dia malah balik bertanya, ‘memangnya kenapa?’ saya terus
mengulang-ulang pertanyaan saya tersebut, dan jawaban dia pun tetap sama.
Sebenarnya pertanyaan saya itu hanya guyon saja, karena memang antara shalat
ashar dan bercanda itu tak ada hubungannya sama sekali.
Setelah diskusi selesai, kami pulang
ke rumah masing-masing, dan saya pun segera bergegas menuju pangkalan Damri
untuk naik bus yang selama ini setia mengantar jemput saya setiap kuliah. Dalam
perjalanan pulang itu saya dikagetkan oleh pesan singkat dari anggota yang saya
tegur ketika diskusi tadi, ‘A.. emang
sikap aku kayak gimana?’ rupanya dia menganggap serius teguran saya.
Kemudian saya bertanya, ‘emang kenapa?’ tak
lama kemudian dia segera menjawab pertanyaan saya itu, ‘Aku jadi kepikiran dengan ucapan aa, karena selama ini aku ingin tahu
siapa diriku sebenarnya, ya untuk muhasabah aja’
Saya betul-betul terhentak mendengar
pertanyaan sederhana itu, dia mempertanyakan siapakah dirinya sebenarnya.
Pertanyaan inilah yang selama ini menguras pikiran saya. Setiap hari saya
selalu bertanya-tanya ‘Siapakah diri ini
sebenarnya?’ . setiap berhadapan dengan orang tua saya adalah A, dihadapan
teman saya adalah B, dihadapan musuh saya adalah C, dihadapan pemimpin saya
menjelma menjadi D, dihadapan rakyat saya berubah lagi menjadi E, dan ketika
sendiri saya menjadi F, sehingga saya bingung, diri saya yang sebenarnya itu
yang mana? Dalam diri pun begitu banyak lapisan: ada aku budaya, aku politik,
aku ekonom, aku sipil, aku militer, aku seniman, aku humoris, aku kyai, aku
santri, hati, qolbu, nurani, fu’ad, dhomir, sirr, lathifah, dzat, dzatullah,
maka yang selama ini aku lakukan itu perwujudan dari yang mana?
Banyak orang yang berkata bahwa
hanya aku dan Tuhanlah yang mengetahui siapa diriku sebenarnya. Saya justru
balik bertanya, apakah orang itu betul-betul mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya. Sungguh pembicaraan tentang
manusia dari zaman ke zaman tak pernah selesai dan selalu relevan, meskipun
muncul berbagai macam keilmuan yang mengkaji tentang manusia seperti:
sosiologi, antropologi, psikologi, dan ilmu yang lainnya, itu tak akan pernah
cukup untuk menggambarkan manusia secara utuh. Saya teringat akan ucapan paman
saya yang pernah berkata bahwa manusia itu lebih luas dan besar dibandingkan
alam semesta. Pantaslah jika mengetahui diri yang sungguh sulit ini menjadi
kunci supaya bisa mengetahui Tuhan Yang Maha Tak Terbatas.
Quote urg eta.
BalasHapus