Untuk pertama kalinya saya dan beberapa kawan satu jurusan ditugaskan untuk membuat sebuah karya dalam bentuk film, yang biasanya karya tersebut selalu dengan mudah kami nikmati dari hasil buah tangan para sutradara film melalui bioskop, televisi, internet, dan media visual lainnya. Kami hanya tinggal mengeluarkan uang sebesar puluhan ribu untuk menikmati film itu, tanpa harus ikut andil dalam membuat, bersusah payah, mengorbankan berbagai yang dimiliki, dan bekerja sama dengan para crew untuk akhirnya segala ‘rukun dalam pembuatan film’ menjadi sebuah karya yang bisa dinikmati khalayak.
Dalam tulisan ini saya tidak akan memaparkan cara bagaimana membuat sebuah film, mulai dari cameramen, artis, mace up, peƱata lampu, artistic, serta berbagai kerumitan yang dihadapi ketika shooting. Tapi, saya hendak mengutarakan sebuah nilai, kreativitas, dan ilmu ynag didapat ketika saya terlibat dalam pembuatan sebuah film, dan kebetulan saya ditugaskan menjadi salah satu pemain (Aktor).
Di kehidupan nyata, saya orang yang sangat suka menghina dan mencibir orang lain. Tapi dalam skenario film, saya tiba-tiba bisa menjadi manusia yang berpura-pura santun dan lemah lembut dalam berbicara. Di kehidupan nyata, saya adalah orang yang begitu malas pergi ke kampus untuk kuliah. Tapi Alhamdulillah, saya bisa menjadi orang yang begitu rajin ke kampus disaat sebuah kamera memantau saya. Dalam kehidupan nyata, saya adalah orang yang begitu mudah marah ketika menghadapi sesuatu yang tak saya inginkan. Tapi ketika memekik kalimat ‘action’ dari mulut sang sutradara, saya pun jadi seorang yang bisa bersabar bahkan mengucap syukur ketika kekasih yang dicintai direbut kawan sendiri.
Kalau Cathrine Catrewright yang memerankan Aisha dalam film Ayat-ayat cinta sebagai istri yang siap dipoligami oleh Fachri sang suami, itu tidak lantas dalam kehidupan nyatanya memiliki kesiapan mental dan bathin untuk suatu saat mendengar kalau dia adalah istri kedua. Jika para ‘ustadz artis’ menggembor-gemborkan kalimat Tuhan dan begitu agamis, sampai membuat para mustami banjir air mata, itu tidak menjamin kalau dalam kehidupan sehari-harinya bahwa Tuhanlah yang ia nomorsatukan. Atau ketika para pejabat melambaikan tangan ke rakyat-rakyat kecil, atau memberikan bantuan dengan wajah yang sepertinya memendam rasa empati, itu tidak menjamin kalau suatu ketika dia disapa oleh wong cilik tidak merasa terganggu.
Dengan melihat berbagai kepura-puraan itu dan mengalami sendiri menjadi ‘bintang film’ kelas, saya menjadi tidak harus mengagung-agungkan para artis dengan memohon-mohon tanda tangannya, meminta foto bareng untuk dipajangkan dan dibanggakan kepada orang lain, atau membuat sebuah komunitas fans club. Saya menjadi tidak sudi berteriak histeris ketika melihat pemain film, saya tidak harus menangis dan pingsan ketika tangan para artis memegang tangan saya, karena yang saya kagumi adalah kepandaian actingnya saja, bukan kagum kepada tingkah laku sehari-harinya ketika tidak disorot kamera. Semua kepura-puraan, kebohongan, kemunafikan, dan ketidakselarasan antara yang tampak dan yang tidak tampak, diakibatkan oleh sebuah benda karya manusia yang bernama kamera dan skenario.
Ada perbedaan sangat mendasar antara kamera dan skenario buatan manusia, dengan kamera dan skenario buatan Tuhan. Seorang pemain film, bagaimana pun harus ta’at dan patuh kepada skenario yang dibuat. Jika harus nangis, ya nangis. Harus shalat, ya shalat. kalau harus jungkir balik, ya jungkir balik. Kalau sedikit saja salah, si sutradara akan langsung berteriak ‘cut’, dan kalimat itu akan terus diulang-ulang sampai adegan yang diinginkan skenario dan sutradara terpenuhi. Si pemain harus bekerja ekstra keras dalam mematuhi apa yang di inginkan skenario dan sutradara, karena dia sedang disorot oleh kamera yang bisa membuat namanya terkenal di jagat hiburan, serta dapat menghasilkan berbagai limpahan materi. Dan untuk mendapatkan itu semua, si pemain akan sangat ikhlas meski pun harus ‘bertukar ludah’ dengan lawan jenisnya yang ditonton ribuan orang, begitu suka rela ketika harus tidur seranjang dengan orang yang sebetulnya tak punya hak, atau mungkin sangat bangga dikala belahan payudara dan paha mulusnya dilahap oleh setiap mata yang menyaksikan, sehingga kebebasan dan kemerdekaannya untuk memilih itu benar-benar direnggut.
Sedangkan dalam skenario Tuhan, kitab suci misalkan, di dalamnya terdapat berbagai aturan main bagaimana caranya hidup supaya sejahtera dan damai. Namun Tuhan hanya memberitahu bahwa begini caranya kalau selamat, dan ini jalannya kalau mau binasah, Dia tak pernah memaksa, melainkan memberikan kemerdekaan kepada hamba-Nya untuk memilih bagaimana menginterpretasikan skenario-Nya sesuai kesanggupan dan kemampuannya. Ketika seorang manusia keluar dari skenario yang diinginkan Tuhan, Dia tidak lantas berteriak ‘cut’ dan memecat orang itu, melainkan Dia terus-menerus dengan sangat sabar menunggu seseorang itu benar-benar ‘berakting’, dan berprilaku sesuai skenario yang dibuat-Nya. Bukankah Tuhan tetap mengawetkan kecerdasan di otak para koruptor? Bukankah Dia tidak semena-mena menerbitkan matahari ketika seorang perampok sedang beraksi di malam gulita? Dan bukankah Tuhan tidak tiba-tiba memutuskan urat leher kita ketika kita melakukan berbagai kebiadaban melebihi umat-umat terdahulu?
Dalam tulisan ini saya tidak akan memaparkan cara bagaimana membuat sebuah film, mulai dari cameramen, artis, mace up, peƱata lampu, artistic, serta berbagai kerumitan yang dihadapi ketika shooting. Tapi, saya hendak mengutarakan sebuah nilai, kreativitas, dan ilmu ynag didapat ketika saya terlibat dalam pembuatan sebuah film, dan kebetulan saya ditugaskan menjadi salah satu pemain (Aktor).
Di kehidupan nyata, saya orang yang sangat suka menghina dan mencibir orang lain. Tapi dalam skenario film, saya tiba-tiba bisa menjadi manusia yang berpura-pura santun dan lemah lembut dalam berbicara. Di kehidupan nyata, saya adalah orang yang begitu malas pergi ke kampus untuk kuliah. Tapi Alhamdulillah, saya bisa menjadi orang yang begitu rajin ke kampus disaat sebuah kamera memantau saya. Dalam kehidupan nyata, saya adalah orang yang begitu mudah marah ketika menghadapi sesuatu yang tak saya inginkan. Tapi ketika memekik kalimat ‘action’ dari mulut sang sutradara, saya pun jadi seorang yang bisa bersabar bahkan mengucap syukur ketika kekasih yang dicintai direbut kawan sendiri.
Kalau Cathrine Catrewright yang memerankan Aisha dalam film Ayat-ayat cinta sebagai istri yang siap dipoligami oleh Fachri sang suami, itu tidak lantas dalam kehidupan nyatanya memiliki kesiapan mental dan bathin untuk suatu saat mendengar kalau dia adalah istri kedua. Jika para ‘ustadz artis’ menggembor-gemborkan kalimat Tuhan dan begitu agamis, sampai membuat para mustami banjir air mata, itu tidak menjamin kalau dalam kehidupan sehari-harinya bahwa Tuhanlah yang ia nomorsatukan. Atau ketika para pejabat melambaikan tangan ke rakyat-rakyat kecil, atau memberikan bantuan dengan wajah yang sepertinya memendam rasa empati, itu tidak menjamin kalau suatu ketika dia disapa oleh wong cilik tidak merasa terganggu.
Dengan melihat berbagai kepura-puraan itu dan mengalami sendiri menjadi ‘bintang film’ kelas, saya menjadi tidak harus mengagung-agungkan para artis dengan memohon-mohon tanda tangannya, meminta foto bareng untuk dipajangkan dan dibanggakan kepada orang lain, atau membuat sebuah komunitas fans club. Saya menjadi tidak sudi berteriak histeris ketika melihat pemain film, saya tidak harus menangis dan pingsan ketika tangan para artis memegang tangan saya, karena yang saya kagumi adalah kepandaian actingnya saja, bukan kagum kepada tingkah laku sehari-harinya ketika tidak disorot kamera. Semua kepura-puraan, kebohongan, kemunafikan, dan ketidakselarasan antara yang tampak dan yang tidak tampak, diakibatkan oleh sebuah benda karya manusia yang bernama kamera dan skenario.
Ada perbedaan sangat mendasar antara kamera dan skenario buatan manusia, dengan kamera dan skenario buatan Tuhan. Seorang pemain film, bagaimana pun harus ta’at dan patuh kepada skenario yang dibuat. Jika harus nangis, ya nangis. Harus shalat, ya shalat. kalau harus jungkir balik, ya jungkir balik. Kalau sedikit saja salah, si sutradara akan langsung berteriak ‘cut’, dan kalimat itu akan terus diulang-ulang sampai adegan yang diinginkan skenario dan sutradara terpenuhi. Si pemain harus bekerja ekstra keras dalam mematuhi apa yang di inginkan skenario dan sutradara, karena dia sedang disorot oleh kamera yang bisa membuat namanya terkenal di jagat hiburan, serta dapat menghasilkan berbagai limpahan materi. Dan untuk mendapatkan itu semua, si pemain akan sangat ikhlas meski pun harus ‘bertukar ludah’ dengan lawan jenisnya yang ditonton ribuan orang, begitu suka rela ketika harus tidur seranjang dengan orang yang sebetulnya tak punya hak, atau mungkin sangat bangga dikala belahan payudara dan paha mulusnya dilahap oleh setiap mata yang menyaksikan, sehingga kebebasan dan kemerdekaannya untuk memilih itu benar-benar direnggut.
Sedangkan dalam skenario Tuhan, kitab suci misalkan, di dalamnya terdapat berbagai aturan main bagaimana caranya hidup supaya sejahtera dan damai. Namun Tuhan hanya memberitahu bahwa begini caranya kalau selamat, dan ini jalannya kalau mau binasah, Dia tak pernah memaksa, melainkan memberikan kemerdekaan kepada hamba-Nya untuk memilih bagaimana menginterpretasikan skenario-Nya sesuai kesanggupan dan kemampuannya. Ketika seorang manusia keluar dari skenario yang diinginkan Tuhan, Dia tidak lantas berteriak ‘cut’ dan memecat orang itu, melainkan Dia terus-menerus dengan sangat sabar menunggu seseorang itu benar-benar ‘berakting’, dan berprilaku sesuai skenario yang dibuat-Nya. Bukankah Tuhan tetap mengawetkan kecerdasan di otak para koruptor? Bukankah Dia tidak semena-mena menerbitkan matahari ketika seorang perampok sedang beraksi di malam gulita? Dan bukankah Tuhan tidak tiba-tiba memutuskan urat leher kita ketika kita melakukan berbagai kebiadaban melebihi umat-umat terdahulu?
Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
0 komentar:
Posting Komentar