Home » » DI PESANTREN KH.Q. AHMAD SYAHID, BETAPA BENCINYA SAYA KEPADA GUS DUR (Bagian 1)

DI PESANTREN KH.Q. AHMAD SYAHID, BETAPA BENCINYA SAYA KEPADA GUS DUR (Bagian 1)

Written By Sanghyang Mughni Pancaniti on Sabtu, 09 Januari 2016 | 01.47


Sekitar tahun 2002, saya menjadi seorang Santri di Pondok Pesantren Al-Falah Bandung yang diasuh KH. Q. Ahmad Syahid. Waktu itu para santri biasa memanggil beliau dengan sebutan 'Ayah'. Di pesantren ini, saya sekolah Tsanawiyah.
Salah satu kawan saya, Ari namanya, merupakan pelanggan majalah Islam Sabili selama di pondok. Tak jarang saya membaca majalah itu setelah dirinya selesai. Ada dua isu besar yang selalu diangkat majalah tersebut: Penegakkan Syaria't Islam dan Gus Dur. Karena saya tidak tertarik tentang Syari'at Islam ala Sabili, maka berita Gus Dur menjadi fokus saya waktu itu.
Sedikit demi sedikit, untuk pertama kalinya, kebencian kepada seorang manusia tumbuh dalam diri saya, dan semakin lama kebencian itu semakin menegas. Kepada siapa saya benci? Kepada Gus Dur. Siapa penyebabnya? Majalah Islam Sabili.
Di tengah kegiatan saya membaca al-Qur'an dan mengaji Kitab Kuning, kebencian saya kepada Gus Dur begitu mengkristal. Dia adalah Kyai yang membela kemaksiatan, Kyai yang murtad karena sudah dibaptis masuk Kristen, Kyai yang mendukung pemurtadan, Kyai yang menyebabkan terbunuhnya para Kyai di Jawa, Kyai yang membuat orang Islam di Poso dipenggal dan dibunuh. Semua isu itu diulang-ulang majalah Sabili pada banyak edisi. Saya sungguh percaya. Dan kepercayaan itu saya wujudkan dengan penghinaan serta cacian, "Di Neraka nanti, Gus Dur adalah pemimpin para Kyai yang sebenarnya busuk dan munafik.!"
Keterkejutan saya tiba, ketika Ayah mengadakan pengajian bersama Gus Dur di Pondok. Para Ustadz dan Kyai-kyai kampung sekitar pondok diundangnya. "Kenapa Ayah mengundang Kyai edan itu? Biar semua santri dan masyarakat menjadi sesat seperti dirinya?" Diam-diam hati saya mengutuk keputusan Ayah.
Tapi tak bisa dipungkiri, selain kutukan yang saya lemparkan, ada kepenasaran yang lahir diam-diam. Setahu saya, Ayah adalah Kyai kharismatik, begitu indah perangainya, sangat luas ilmunya, dan selalu berhati-hati dalam memilih kawan. Lalu bagaimana mungkin Ayah menjadikan Kyai edan semacam Gus Dur sebagai kawan? Bahkan sesekali kudengar, Ayah menyebut Gusdur sebagai Guru. Walah bahaya. Siapa yang harus kupercaya dalam menilai Gus Dur? Majalah Sabili yang tak pernah kutemui orang-orang di baliknya? Atau Ayah yang setiap hari mengajariku dan mengasuhku di Pesantren?
Ah, pertanyaan dalam diriku tentang siapa sebenarnya Gus Dur, rupanya tak terjawab sampai aku meninggalkan Pondok Pesantren al-Falah dan menyelesaikan Aliyah di al-Musaddadiyah Garut. Sedangkan kebencian dan kepenasaranku pada Gus Dur, tetap mengendap, tak terendus, tak terlihat, membasahi palung ingatan.
Ketika keilmuan saya bertambah matang, dan hati nurani telah mampu 'mempertimbangkan', benci pada Gusdur akhirnya remuk, bahkan mewujud menjadi rindu dan cinta. Bagaimana proses 'perpindahan rasa' itu terjadi? Lain kali akan saya ceritakan. Sedangkan Ari sendiri, teman saya yang pelanggan majalah Sabili itu, sudah tak berhasrat menegakkan Syariat Islam yang dipropagandakan majalah Sabili, melainkan telah menjadi Bobotoh Sejati PERSIB.
Bersambung...
Desember. 27. 2015
(Haul Gus Dur yang ke-6)
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2013 @ Pena Sanghyang Mughni Pancaniti
"Template by Maskolis"