Home » , » KEPADA SABDA (NASIHAT YANG DIGUGAT)

KEPADA SABDA (NASIHAT YANG DIGUGAT)

Written By Sanghyang Mughni Pancaniti on Rabu, 09 Maret 2016 | 08.51


Beberapa kali aku digugat, hanya karena sering berkata-kata pada Sabda, anak pertamaku yang masih berumur 6 bulan, melalui status Facebook. Yang jadi masalah bagi si penggugat, bukanlah percakapan itu, melainkan isinya. Misalnya beberapa contoh ini:

"Sabda.. Meski kau terciprat dari darahku, aku tak akan memaksamu menjadi ini itu. Tapi biarkan bapakmu memberi sebuah nasihat kecil, 'tak ada seorang pun yang mengada, tanpa karena.'"

"Sabda.. Rejekimu bukanlah apa yang kau makan, melainkan apa yang kau berikan pada siapa yang membutuhkan. Apapun yang kau makan, paling hanya menjadi tahi dan energi. Tapi yang kau berikan, akan bergerak menjadi abadi."

"Sabda.. Bapakmu pernah menjadi Juri dalam lomba pembacaan puisi. Ada satu kalimat dari sebuah bait, yang membuat bapak melesak dalam ngeri. Percayalah, Nak, semua manusia akan mengalami peristiwa pada kalimat itu. Maukah kau tahu bunyi kalimat itu? 'LELAH DALAM LILLAH'"

"Kau seringkali mendengar orang berucap 'Takbir' di banyak tempat. Menggema, bersahutan, berulang-ulang. Kalimat itu ingin menegaskan, hanya Allah Yang Akbar. Jika kau mendengar ada Rapat Akbar, Reuni Akbar, Pertunjukkan Akbar, Dzikir Akbar, atau Tabligh Akbar, itu pasti penipu.! Apalagi jika 'Allahu Akbar' digunakan untuk menuduh, merusuh, dan membunuh, tinggalkan orang semacam itu.!"

"Sabda.. Siapa yang benar dan salah dalam iman, dari waktu ke waktu, dari sejarah ke sejarah, selalu diperebutkan dan dipertikaikan. Dengan kepolosan jiwamu, dan ketiadaan dusta pada matamu, tolong tanyakan pada Tuhan, kapan semua ini dihentikan?"

"Sabda.. Jika ada orang di sekitarmu menganggap, bahwa pendapatnyalah yang benar, yang mutlak, yang siapapun tak boleh menggugat, maka susunlah sebuah agenda, sebuah pergerakan, untuk melawannya.!"

"Sabda.. Tuhan adalah Ketidakterbatasan, manusia adalah keterbatasan. Lalu bagaimana mungkin, yang terbatas, bisa merasa paling benar menafsirkan ketidakterbatasan?"

Banyak sekali nasihat-nasihatku kepada Sabda, yang kuhimpun dalam Hastag ‪#‎KepadaSabda‬, yang suatu saat pasti akan kubukukan. Juga, aku selalu punya kebiasaan, status-status Facebook itu akan kuungkapkan ulang di telinga anakku saat ia hendak tidur, atau saat kami bermain-main.

Ada yang bilang, "Hal-hal yang berat belum waktunya ditimpakan kepada anak seusia itu."

Bahkan ada yang meledek, "Anak sekecil ini sudah dinasehati macam itu, jangan-jangan saat umurnya 10 tahun nanti, dia akan jadi Nabi."

Yang bicara begini ada, "Anakmu cuma tahu menangis, tidur, dan menyusu. Jangan diajak bicara yang bukan-bukan."

Ada beberapa komentar, memang, yang membuatku tertawa sekaligus tersindir, tapi semuanya kutelan, dan sudah kuratapkan dalam satu dua tulisan. Dan catatan ini, adalah sebuah ikhtiar, agar mereka mau mengerti apa yang kulakukan.

Betapa aku percaya pada salah satu pemikiran Martin Heidegger, bahwa seorang balita, sejatinya telah mampu melakukan 'Diskursus Eksistensial'. Artinya, jika seorang balita diajak bicara oleh ibu bapaknya, tentang segala sesuatu, sejatinya dia mampu merespon setiap pembicaraan itu melalui diam. Kelemahannya hanya satu, dia belum bisa membahasakan. Padahal setiap informasi yang diterimanya, ungkapan-ungkapan yang didengarnya, sesepele apapun, akan mengendap pada jiwanya, menyusuri setiap detaknya, menyusup pada getarnya, terekam, terkerangkeng, yang suatu ketika akan meledak.! Pasti.!

Selain alasan itu, ada landasan Teologis yang aku sangat hati-hati dalam menjalankannya. Allah mewahyukan dalam al-Qur'an, jika seorang anak yang keluar dari perut ibunya, dia pasti tak tahu apa-apa. Hakikatnya, modal manusia, semuanya sama, tak tahu apa-apa.! Tapi melalui penglihatan, pendengaran, dan pemikiran, Allah memberinya ilmu. Bagiku, seorang bayi berarti diam-diam akan mengawasi apa yang ia lihat, juga mencuri bunyi apa yang ia dengar. Jadi sebuah kewajaran, jika aku tak memberikan tontonan sinetron-sinetron dungu, atau memperdengarkan bahasa dan lagu tak bermutu, pada anakku. Sebab, selain Tuhan dan ibunya, akulah guru pertama bagi bayi mungilku itu, Sabda.!

Jika kelak dia belajar pada Guru PAUD, Guru TK, Guru Sekolah, Ustadz, atau Dosen, biarkanlah mereka itu menjadi lumbung ilmu yang kedua bagi darah dagingku. Mereka bukan yang utama dan pertama. Bukan.! Tapi aku.!

Maka, siapapun yang membaca nasihat-nasihatku untuk Sabda, lihatlah seorang bapak yang ada di belakang teks-nya, yang sedang menggigil takut sambil mengumandangkan sebuah ayat Tuhan, "Jagalah dirimu dan keluargamu, dari jilatan maha dahsyat api Neraka."

Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2013 @ Pena Sanghyang Mughni Pancaniti
"Template by Maskolis"