Tarekat Bedusiyah memang tak banyak diketahui manusia, bahkan golongan Jin dan Iblis sekalipun malas untuk memperhatikannya. Hanya tanah, hanya langit, hanya bintang dan semilir angin, yang selama ini sudi menikmati kajian-kajian keilmuan yang menyembul dari dalam Tarekat itu.
Kyai Bedus beserta para Santrinya, sudah cukup lama menyirami Tarekat ini dengan keterbukaan berpikir dan kemerdekaan nalar. Bermacam sudut pandang didengungkan, dan berbagai tafsir diletupkan. Kebenaran dan Kesalahan mutlak, juga Sorga dan Neraka, mereka biarkan itu menjadi milik Tuhan untuk menentukan.
Di antara semua Santri Kyai Bedus, yang paling merasa bahagia adalah Mughni. Bagaimana tidak, Toko Bukunya menjadi rahim terlahirnya Tarekat ini. Saban hari, di Tokonya akan ada diskusi antar para Santri, atau dengan Kyai Bedus Sendiri. Tanpa ditentukan, pengetahuan bisa berseliweran tak beraturan. Tanpa disengaja, akan akan ada ilmu yang berhamburan. Bermula bicara Fikih, tapi bisa berujung di Psikoanalisis Freud. Atau diawali membincang Imam Syafii, tapi bisa berakhir di konsep Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Atau dibuka oleh pengembaraan ke dalam pemikiran Sastra Indonesia, tapi bisa tiba-tiba Maulana Jalaluddin Rumi terselip di tengah jalannya. Ketidakberaturan inilah yang justru sangat dipertahankan para Santri di Tarekat Bedusiyah. Mereka diajak masuk oleh Kyai Bedus pada pergumulan wacana yang menggairahkan, pada ruang-ruang tak terduga, yang tak disekati apa-apa.
Meski Mughni tak lagi mondok di Pesantren, ia tetap menamai dirinya sebagai seorang Santri. Tapi Santri Tanpa Kobong. Istilah yang ia cetuskan, pernah direspon oleh Kyai Bedus.
"Secara sosiologis, Santri adalah mereka yang berdiam diri di lingkungan Pesantren, mengkaji Kitab Kuning, dan dibimbing oleh Kyainya dalam memahami Agama. Sedangkan Santri Tanpa Kobong, adalah Santri dalam pengertian Substansial. Mereka adalah orang-orang tak bersarung dan berpeci, yang menjadikan setiap pengalaman dan perjalanannya sebagai Kyai, alam semesta merupakan Kitab terhampar yang dibacanya berulang-ulang, dan dunia ini dijadikan sebagai Asrama, yang setiap ceruknya ia masuki dengan takjub."
(Bahasan Ketiga Tarekat Bedusiyah)
(Bahasan Ketiga Tarekat Bedusiyah)
Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
0 komentar:
Posting Komentar