Ada yang berbeda dari Kyai Bedus hari ini. Wajahnya seperti terbenam dalam bahagia, gerak tubuhnya seolah sedang ingin meledakkan cinta pada semesta. Ketika ditanya, ternyata ia hendak mengkhitan anak pertamanya.
Kedatangannya ke Zawiyah, tak hanya untuk bersilaturami kepada para Santrinya, tapi juga membagi keindahan yang sedang meluap di dadanya.
"Aku akan sangat senang jika kalian mau datang ke rumahku. Bersilaturahmi dengan keluargaku." Kata Kyai Bedus sambil mengeluarkan kartu undangan dari tas nya.
"Kami akan datang, Kyai." Tukas Agi menyeimbangi kebahagiaan gurunya.
Kyai Bedus tak bisa lama berdiam di Zawiyah, karena ada beberapa persiapan yang harus diselesaikan. Namun sebelum berangkat, dia masih sempat membekali Santri-santrinya dengan sebetik ilmu. Tentang empat macam silaturahmi, atau menyambung kasih sayang.
Bertatap wajah, bertemu secara jasadi, dengan orang tua, guru, teman, atau siapa saja secara disengaja, itulah yang disebut Kyai Bedus sebagai Silaturahmi Wajhi. Dari silaturahmi ini, kedekatan tercipta.
Mau merasakan kebahagiaan, penderitaan, dan kesulitan orang lain, kemudian mampu mewujudkannya dalam laku nyata, itulah Silaturahmi Qalbi. Ini yang dalam Psikologi dinamai empati. Silaturahmi ini melahirkan kasih sayang.
Membaca buku, menjelajahi pemikiran penulisnya, adalah bentuk dari Silaturahmi Fikri. Tak hanya itu, berdiskusi, bertukar pendapat, saling bagi informasi, juga merupakan bagian dari Silaturahmi ini. Dengan cara itu, sudut pandang akan meluas.
Yang terakhir, yang dibahas secara lebih mendalam oleh Kyai Bedus, adalah Silaturahmi Ruhi. Dalam pandangannya, kematian seseorang bukan isyarat bahwa ia lenyap sama sekali. Ruhnya yang suci, akan tetap hidup bersama Tuhan dalam abadi. Terutama Ruh Para Rasul, Awliya, Ulama atau Ilmuan, dan Ruh orang-orang yang dicintai-Nya.
Di tubuh umat Islam, tak sedikit orang-orang yang mengirimkan doa bagi Ruh-ruh itu, Bertawasul, sekaligus yakin jika doa itu akan sampai dan mendapat penerimaan. Inilah salah satu bentuk Silaturahmi Ruhi.
Kyai Bedus menegaskan, "Seseorang yang telah punah ditelan tanah, berarti sudah menjadi Ghaib. Dan tentu, keghaibannya itu berada di bawah Kemahaghaiban Tuhan. Jika kita tak sudi menyentuh yang kadar keghaibannya kecil, lalu bagaimana bisa kita menyentuh yang keghaibannya Maha? Tuhan.!"
(Bahasan Keempat Tarekat Bedusiyah)
Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
0 komentar:
Posting Komentar