Sebagai orang Sunda, aku tak jarang mendengar sebuah larangan orang tua dulu, "Tong heheotan di jero imah, bisi teu boga uyah!" (Jangan bersiul di dalam rumah, nanti tak punya garam). Apa hubungannya bersiul dan tak punya garam? Apakah benar jika seseorang bersiul di dalam rumah, maka ia akan kehilangan bumbu dapur bernama garam? Aku pernah membuktikannya, tapi tak terjadi apa-apa. Ini kenapa, hal semacam itu dihakimi sebagai mitos!
Apakah mitos adalah sebuah dosa? Bukan! Apakah mitos membuktikan ketidakbecusan berpikir orang-orang dulu? Tidak! Bagiku hari ini, mitos adalah pengetahuan yang belum terjelaskan, dia adalah kearifan hidup yang terselubung metafora, dia adalah ilmu yang tertutup kesederhanaan bahasa. Tugasku sekarang adalah, melucuti makna dibalik hal-hal yang disebut mitos itu, salah satunya tentang bersiul.
Jika melihat posisi bibir orang bersiul, pasti dimanyun-manyunkan ke depan. Ini adalah ciri orang yang sedang iri dan dengki pada apa yang saudaranya terima. Dia tak tahan hati menyaksikan kekayaan, keunggulan, dan kemajuan yang orang lain raih.
Kemudian kita lihat garam. Dia adalah simbolitas dari sesuatu yang harus ada di dalam dapur setiap rumah. Dari mulai gubuk sampai gedong, dari rumah pemulung sampai presiden, tak pernah melewatkan bumbu ini. Lalu apa yang harus ada dalam pergaulan kita dengan orang lain, yang bersama-sama diam di dalam rumah yang disebut dunia? Toleransi, penerimaan dan kebersamaan!
Mitos tentang "jangan bersiul di dalam rumah, nanti akan kehilangan garam," bisa kita tafsirkan jadi seperti ini, "Jangan kau mendengki dan iri pada yang lain! Jika kau lakukan itu, toleransi dan kebersamaan yang harusnya ada di antaramu, akan hilang dan tiada!"
Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
0 komentar:
Posting Komentar