Kritis adalah seperti kita makan ikan, mengambil dagingnya, membuang durinya. Kritis adalah seperti kita menikmati ayam bakar, mengunyah dagingnya, tak menelan tulangnya. Kritis adalah seperti kita meminum kopi, mencecap sarinya, membiarkan ampasnya.
Kritis punya lawan: Kebencian dan cinta buta. Kebencian kita pada sesuatu, membuat sesuatu itu tak bernilai sama sekali. Kecintaan buta kita pada sesuatu, membuat sesuatu itu tak punya cacat dan cela. Ini kenapa, bagi Ibn Rusyd, Filosof Muslim yang menakjubkan itu, "Kritik adalah penghormatan!"
"Jika kau menemukan kebenaran pada setiap ulama dan pemikir, ambilah! Tapi jika kau menemukan kesalahan dan ketidaktepatan, kritiklah sebagai ungkapan penghormatan." tutur Rusyd dalam kitab Fashlul Maqal.
Kekagumanku pada seorang manusia, tak boleh membutakan mataku untuk melihat titik-titik kesalahannya. Juga kebencianku pada seorang manusia, tak boleh membuat hatiku untuk tak mau menyaksikan kebaikan pada dirinya. Jika menggunakan sudut pandang Rusyd, kritik tak cuma harus dilemparkan pada orang yang kita benci, tapi juga pada orang yang kita cinta dan kagumi.
Ayo kita mundur ke beberapa abad lalu.
Ketika Ibn Rusyd mengkritik Tahafut al-Falasifah al-Ghazali dengan Tahafut at-Tahafut, jangan diterjemahkan bahwa itu sebagai bentuk kebencian dan ketidaksukaan Rusyd pada sang Hujatul Islam dan pemikiran Sufismenya. Justru kritikan tersebut, merupakan wujud penghormatan kepada al-Ghazali. Karena di banyak sisi, Rusyd sangat terkagum-kagum pada pemikir besar itu.
Juga, kritikan al-Ghazali pada beberapa Filosof semacam Ibn Sina dan lainnya, tak boleh kita artikan sebagai bentuk kebencian al-Ghazali pada Filsafat dan Para Filosof. Ini adalah kritiknya, penghormatannya, kepada para pemikir agung itu. Sebab tak bisa dibantah, al-Ghazali adalah pemikir yang belajar dan sangat mencintai Filsafat.
Jika aku membenci tasawwuf (Al-Ghazali) hanya karena mencintai Ibn Rusyd, atau aku anti belajar Filsafat (Ibn Rusyd) hanya karena mengikuti al-Ghazali, itu membuktikan bahwa aku kurang minum kopi, atau kurang piknik, atau kurang makan bala-bala dan batagor.
Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
0 komentar:
Posting Komentar