Home » » HIDE(U)NG

HIDE(U)NG

Written By Sanghyang Mughni Pancaniti on Sabtu, 13 Agustus 2016 | 19.52

Pangsi Hitam. Baju khas orang Sunda tempo dulu itu, kini coba dimasyarakatkan kembali dalam banyak wilayah. Di Bandung, misalnya, ada program 'Rebo Nyunda', dimana anak sekolah diharuskan menggunakan pakaian hitam dan iket kepala setiap hari Rabu, termasuk berbahasa Sunda. Hari ini, memang, tak bisa dibantah bahwa budaya lokal kerap dinajiskan oleh pemiliknya sendiri. Maka program ini sepertinya upaya agar anak-anak mengenal serta tidak melupakan miliknya sendiri.

Aku tak tahu, darimana awalnya pakaian berwarna hitam menjadi ciri masyarakat Sunda masa lalu. Apakah informasi ini didapatkan dari naskah tulis klasik, atau mungkin budaya lisan yang turun-temurun. Aku tak peduli dengan itu! Biar kuikuti saja apa yang telah dan sedang terjadi.

Putih adalah simbol suci, hitam adalah simbol kegelapan, itu yang menjadi pemahaman kita hari ini, namun tidak dengan masyarakat Sunda masa lalu. Ada makna yang tersembunyi dibalik keserbahitaman pakaiannya, dan aku telah merangkum dua pemaknaan yang diambil dari beberapa sumber.

HIDEUNG. Ini adalah pengertian pertama. Hideung atau hitam, jika memang merupakan simbol ketidaksucian, biarkan ini tetap dipakai sebagai bentuk rasa rumasa dan pengakuan bahwa diri kita itu kotor. Banyak salah dan khilaf yang harus terus diperbaiki. Jika rasa kerendahatian ini telah tertancap bagi yang menggunakan baju hitam, kita tak punya celah menganggap diri kita bersih dan yang lain kotor! Kita suci yang lain biadab!

HIDENG. Ini menjadi pemaknaan kedua. Sebagian orang Sunda banyak yang mengira, bahwa maksud tradisi ini bukan memakai 'Baju Hideung' atau Pakaian Hitam, tapi  'Baju Hideng' atau Baju kedewasaan. Jika dimaknai semacam ini, itu berarti pakaian yang dimaksud adalah sikap mental untuk mau dewasa dan tidak kekanak-kanakan. Kedewasaan ditandai untuk melakukan apa yang harus dilakukan, meski tak ada yang memerintahnya. Ia berbuat baik memang karena seharusnya berbuat baik, pun dia menampik keburukan karena memang seharusnya begitu. Seperti ayam yang setiap pagi berkokok, karena begitulah ia semestinya. Dia tak peduli apakah ada yang mendengar atau mensyukuri kokoknya atau tidak!

Jika kau punya makna lain tentang pakaian hitam di Tatar Sunda dan mau membaginya, akan kuangkat segelas kopi untukmu.

Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti

Share this article :

2 komentar:

 
Copyright 2013 @ Pena Sanghyang Mughni Pancaniti
"Template by Maskolis"