Dalam 'Tadzkiratul Auliya' karya Fariduddin at-Taar, aku menemukan perjalanan hidup yang membuat dadaku dihujam getar. Tentang Sufi Besar, Abu Yazid al-Busthami namanya. Ingin kuceritakan ulang di catatan ini..
Ketika umurnya cukup, Abu Yazid disekolahkan ibunya ke tempat seorang ulama. Dalam satu pengajiannya, hatinya diterkam rasa gundah, yakni saat gurunya menerangkan ayat, "Berterima kasihlah pada-Ku, dan kepada kedua orang tuamu!". Ia memohon izin untuk pulang menemui ibu, dan gurunya mempersilahkan.
"Kenapa kau sudah pulang, Taifur?" tanya ibu saat Abu Yazid berdiri di hadapannya.
"Sebuah ayat menggundahkan hatiku. Aku tak mungkin mengurus dua rumah dalam waktu bersamaan. Kini aku ingin meminta pendapatmu, apakah aku harus menyerahkan diriku padamu dan meninggalkan Allah? Atau aku harus meninggalkanmu dan menyerahkan diriku pada Allah?" tutur Abu Yazid seraya terisak.
Ibunya menjawab dengan air mata meleleh, "Aku membebaskanmu dari seluruh kewajibanmu padaku. Pergilah, Taifur! Jadilah hamba Allah yang dicintai-Nya."
Kemudian Abu Yazid pergi mengembara, membawa doa ibunya. Ribuan tempat ia kunjungi, ratusan guru spiritual ia datangi, seraya memperoleh ilmu dan pelajaran yang mereka berikan. Sampai akhirnya, robeklah hijab tebal antara dirinya dan Tuhan. Ia menyaksikan kekasih-Nya dengan tatapan pasti. Dirinya diliputi cahaya, jiwanya menerobos setiap lekuk rahasia-Nya, setiap ceruk kebesaran-Nya. Ia pun takluk dengan batin yang bersujud!
Sebab sebuah perintah dari Tuhan, Abu Yazid pulang untuk merawat ibunya yang telah sangat tua. Di tengah perjalanan, Abu Yazid ditahan ratusan orang yang ingin menjadi muridnya, menjadi pengikutnya. Bukannya senang, Abu Yazid merintih sedih dalam doanya, "Ya Allah, aku tak ingin menjadi sebab tertutupnya penglihatan-penglihatan hamba-Mu."
Karena ingin merubuhkan kecintaan mereka padanya, dan tak ingin menjadi penghalang penghambaan, Abu Yazid kemudian berteriak, "Sesungguhnya aku adalah Tuhan, tiada Tuhan selain aku. Maka sembahlah aku!"
Mendengar itu, sontak semua orang meninggalkan Abu Yazid, menganggapnya telah kafir dan gila. Abu Yazid justru merasa lega, dan ia lanjutkan perjalanan menuju ibunya.
Beberapa kilo meter sebelum sampai rumahnya, Abu Yazid dihadang kembali oleh kawan-kawannya dahulu, yang mungkin telah mendengar tentang dirinya. Mereka ingin menjadi murid dan pengikutnya.
Abu Yazid sadar, jika keinginan mereka dituruti, ia akan ditahan dan tak diperbolehkan pulang, sedangkan rindu dendamnya pada ibu sudah tak tertahan. Karena ini adalah bulan Ramadhan, Abu Yazid tiba-tiba melakukan sesuatu yang musykil dilakukan oleh seorang suci. Ia memakan sepotong roti di depan kawan-kawannya, sampai ia dianggap pelanggar syariat dan tak pantas dijadikan guru.
Tanpa mempedulikan penilaian, Abu Yazid meneruskan perjalanan, dan akhirnya tiba di depan pintu rumahnya. Doa ibunya dari dalam terdengar, "Ya Allah, jagalah ia yang terbuang. Condongkan hati para kekasih-Mu kepadanya, dan berilah ia petunjuk agar mampu melakukan hal-hal yang baik."
Mendengar doa itu, air mata Abu Yazid tumpah.
Karena mendengar ada suara, ibunya bertanya, "Siapakah itu?"
"Aku anakmu yang terbuang!" jawab Abu Yazid dengan tangis yang belum hilang.
Ketika pintu dibuka, sang ibu meraba-raba wajah Abu Yazid, dengan tangan bergetar, dengan tangis yang siap meledak, ia berucap pilu, "Taifur, anakku. Penglihatan ibumu ini sudah kabur, karena tangis yang tak mau berhenti semenjak berpisah denganmu waktu itu. Punggung ibumu pun telah bongkok, menanggung duka karena tak bisa melewati hari-hari bersamamu.."
Abu Yazid tersungkur di kaki ibunya..
0 komentar:
Posting Komentar