Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
Saat masih mondok di al-Falah, saya kerap memperhatikan kegiatan Ayah (Ajengan Syahid) di luar jadwal mengaji. Salah satunya adalah hobi memelihara burung. Jika saya melewati teras rumahnya untuk keluar gerbang pesantren, saya selalu melihat burung pada sebuah sangkar. Juga di dalam rumah, ada cukup banyak burung yang disimpannya. Saya tak mengerti, kenapa burung menjadi hewan yang disayanginya. Bukan ular, bukan biawak, bukan pula ikan cupang.
Baru ketika saya keluar pondok, melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, saya menemukan kitab-kitab, terutama kitab tasawuf, yang menjadikan 'burung' sebagai permisalan agung. Misalnya 'Mantiq al-Thair' karya Fariduddin Attar dan 'Risalah al-Thair' karya Ibn Sina.
Attar bercerita tentang perjalanan burung-burung menuju Rajanya yang bernama Simurgh. Menurut beberapa pengamat, burung-burung itu adalah simbol dari jiwa-jiwa manusia, sedangkan Simurgh adalah perlambang Tuhan. Namun sebelum sampai tujuan (Tuhan), burung-burung ini harus melewati tujuh lembah yang melelahkan: cinta, ma'rifat, perpisahan, kesatuan, keheranan, kefakiran, dan kehancuran. Akibatnya, ada burung yang sampai tujuan, ada yang kembali pulang ke bumi dengan seribu macam dalih.
Kemudian, Ibnu Sina pun menggunakan alegori burung dalam kitab 'Risalah al-Thair'. Lagi-lagi, burung di sini merupakan lambang jiwa manusia. Ibn Sina menceritakan, bahwa ada sekawanan burung yang turun ke bumi. Mereka ditangkap seorang pemburu, dimasukan dalam sangkar, dan diberi kenikmatan tiada tara. Burung-burung ini merasa hanya dunia sangkar inilah yang terbaik. Sampai satu saat, ada suara yang memanggil-manggil burung-burung itu, menegaskan bahwa sangkar itu bukanlah tempat sejati mereka. Maka disinilah perjalanan spiritual manusia, untuk keluar dari jebakan dunia, dimulai!
Selanjutnya, mari kita masuk dalan karya teragung, yakni al-Quran. Di dalamnya, burung merupakan perlambang akal. Kecerdasan. Pengetahuan. Misalnya, al-Quran bercerita "perang saudara" anak-anak Adam. Segera setelah membunuh saudaranya sendiri, yaitu Habil, Qabil kebingungan. Ia tak tahu cara yang layak untuk mengkebumikan jenazah Habil. Seekor gagak kemudian mendarat dengan membawa bangkai gagak lain. Dia mengais tanah dan menggali liang, lalu memendam bangkai gagak yang dibawanya.
Setelah menyaksikan adegan itu dan mengambil pelajaran darinya, Qabil mengikuti teladan sang gagak. Ia menggali tanah, lalu mengubur jenazah Habil. Itulah peristiwa penguburan jenazah pertama yang dilakukan dalam sejarah umat manusia. Ternyata, salah satu avian paling cerdas itu adalah guru yang mengajari manusia bagaimana memuliakan manusia lain yang telah meninggal. Ironis tetapi luar biasa: manusia belajar menjadi manusia justru dari gagak yang adalah binatang.
Alquran juga mengisahkan hubungan Nabi Sulaiman dengan burung hud-hud kesayangannya. Konon, yang dimaksud hud-hud dalam Alquran adalah burung pelatuk, salah satu burung terpintar. Hud-hud terbang melintasi angkasa negeri yang dipimpin seorang perempuan dan menyembah matahari. Dia melaporkan hasil “observasi”-nya kepada Nabi Sulaiman.
Sang Nabi lalu mengutus hud-hud sebagai diplomat dengan misi menyerahkan surat kerajaan kepada sang ratu. Alih-alih berisi perintah takluk dan maklumat perang, surat tersebut pada dasarnya mengandung pesan damai: bismillah al-rahman al-rahim. Dengan demikian, dalam cerita ini, disamping menandakan kecerdasan, burung juga mengisyaratkan perdamaian, rahmat, dan cinta.
Bagi saya pribadi hari ini, kesenangan Ayah dalam memelihara burung, ada sangkut pautnya dengan perlambang. Bahwa sejatinya, melalui dunia pesantren, ia sedang mengasuh dan memelihara jiwa-jiwa manusia (santri), untuk melakukan sebuah perjalanan spiritual, perjalanan akal, dan perjalanan cinta, menuju Tuhan!
Wallahua'lam..
TOKO BUKU KEBUL. 2017
0 komentar:
Posting Komentar