Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
Jujur saja, aku selalu senang jika pemilu tiba. Dari mulai pemilihan kepala daerah sampai kepala negara. Kebahagiaanku akan berlipat ganda, ketika orang-orang yang mencalonkan diri sedang melakukan kampanye demi meraih suara.
Para calon yang kaya bisa mendadak jadi sederhana, yang mudah marah jadi senyum sini sana, kepada rakyat ia jadi sering menyapa. Jika di jalan ia melihat balita akan segera dipegang dagunya, memandang pedagang kecil akan langsung dipeluk pundaknya, atau jika kebetulan menyaksikan rakyat yang terkena bencana, ia tak akan sungkan untuk duduk di tanah bersama-sama. Tapi semua bentuk empati itu akan percuma, jika tak ada juru kamera yang sengaja dibawa.
Sedari pertama, aku sudah sadar bahwa para calon itu sedang bersandiwara. Aku sudah menduga, seandainya mereka terpilih duduk di atas singasana, pasti akan kembali ke tabiatnya semula. Tak lagi sederhana, tak lagi mau menyapa, tak lagi bertata krama, tak lagi penuh cinta, dan tak lagi menganggap rakyat sebagai manusia mulia. Aku tetap tenang dan bahagia, sebab hal semacam ini bukan yang pertama.
Sebagai rakyat biasa, pengalamanku ditipu calon pemimpin tak terhitung jumlahnya. Dan manfaatnya, aku sudah terlatih untuk mampu tertawa dalam duka, berlapang dada dalam dusta, berbahagia dalam sengsara, tegar dalam tumpahan air mata, dan mencipta sorga dalam kubangan neraka.
Wahai orang yang ingin berkuasa, akan kuberikan cuma-cuma jika kau meminta lagi suara, akan kurelakan jika kau berharap untuk photo bersama, akan kupakai kaos gambar wajahmu yang bertuliskan cita-cita, atau jika diminta, aku akan mengikuti saat kau berjalan memasuki neraka.
TOKO BUKU KEBUL. 2018
0 komentar:
Posting Komentar