Sanghyang Mughni Pancaniti
Kita mengaduh saat ada anggota tubuh yang terkena sakit, gigi
misalnya. Maka perhatian pun akan terfokus pada gigi yang sakit. Kita
terus-menerus neuteulih, kita protes kepada Tuhan melalui
do’a-do’a sehabis sembahyang agar gigi yang tidak normal itu segera
dipulihkan oleh-Nya, seakan-akan jika gigi kita sakit, Tuhan pun akan
juga membutakan mata yang terbiasa melihat, menulikan telinga yang
terbiasa mendengar, membisukan lidah yang terbiasa mengucap,
mematirasakan tangan yang terbiasa mengangkat, melumpuhkan kaki yang
terbiasa berjalan, menghentikan hati yang terbiasa merasa, serta
mengambil otak yang terbiasa berfikir.
Saat yang terkasih
(pacar) menancapkan duri pada ulu hati, dengan seketika lupalah kita
kepada ayah ibu yang tak pernah pamrih atas setiap sayang yang
senantiasa dicurahkannya pada kita, sahabat-sahabat yang dengan senang
hati mendengarkan curahan hati kita, sanak saudara yang dengan senyuman
memberikan semangat pada kita, serta para tetangga yang selama ini
ikhlas menyapa kita. Sebenarnya kita ini lupa? Pura-pura lupa? Atau
justru sengaja kita lupakan hal-hal yang membuat kita bahagia karena
sedang dirundung sebuah kesulitan?
Tuhan menginformasikan
dalam kitab-Nya bahwa bersama kesumpekan, masih ada beribu hal yang
meringankan. Berbarengan dengan kesulitan, begitu nyata bermacam-macam
kemudahan. Bersama himpitan masalah, ada pula seribu satu cara
mengatasinya. Saking benarnya apa yang Dia guratkan dalam kitab-Nya
itu, Dia mengulang dua kali kalimat yang membuat kita lega, ‘inna ma’al ‘usri yusro, fainna ma’al ‘usri yusro’. Kita sering mengartikan ayat ini dengan ‘dibalik kesulitan ada kemudahan’ Perhatikan lah yang Dia ucapkan itu, disini Tuhan menggunakan kata ‘Ma’a’ yang
artinya ‘bersama’ bukan ‘dibalik’. Jadi, ketika Tuhan memerintahkan
kita untuk menikah, Dia pun telah menyelipkan pula rejekinya. Jika Tuhan
memerintahkan kita shalat, waktu itu juga Dia menganugrahkan kekuatan
untuk melaksanakan shalat itu. Atau ketika Tuhan menguji kita dengan
tumpukan masalah, Dia pun telah menyempilkan solusinya.
Kita
harus ingat, di dalam Tuhan tidak ada ketersiksaan, seolah-olah saja
kita dirundung sakit, namun itu adalah wujud awal dari kesembuhan yang
sengaja Dia samarkan. Di dalam Tuhan tidak ada kemurungan, karena yang
sejenak terasa seperti kepahitan, itu adalah tanah subur untuk menanam
kebahagiaan. Di dalam Tuhan tidak ada kesempitan, sebab yang selama ini
kita anggap kesumpekan, itu adalah langkah awal dalam mencapai
keluasan.
Allahku Terkasih.. jadikanlah aku hamba-Mu
yang bersyukur atas segala kegetiran rejeki kekalahan, rejeki
kemiskinan, rejeki kegagalan, rejeki keterpojokan, rejeki kesakitan,
rejeki ketersiksaan, rejeki keterhinaan, rejeki disalahpahami, rejeki
ujian, rejeki cobaan atau pun kecelakaan. Makin tajam siksaan, makin
besar syukur kupersembahkan, dan ketika ia berakhir, kemudian diganti
dengan sejuk buaian-Mu, maka kutambah jumlah sembahyang.
0 komentar:
Posting Komentar