Home » » (AN)TI WAYANG

(AN)TI WAYANG

Written By Sanghyang Mughni Pancaniti on Minggu, 10 Juli 2016 | 12.12


Pernahkah kau mendengar istilah 'Pacaduan' yang terlontar di sebuah masyarakat Sunda? Jika belum, biar kucoba bahasakan dengan sederhana. Pacaduan merupakan sumpah yang jika dilanggar, akibatnya akan langsung tiba pada saat itu juga. Ini sangat berkaitan dengan keturunan darah, atau sebuah komunitas masyarakat. Yang mengeluarkan pacaduan ini tentu bukan orang biasa.

Sebelum masuk pada pembahasan inti, biar kuberi contoh terlebih dahulu agar mudah dimengerti. Kau bilang pada dirimu sendiri, "Aku bersumpah (cadu), anak turunanku tak boleh ada yang gondrong. Jika ada yang melanggar, dia tak akan bisa tidur malam." Seandainya kau bukan orang biasa, anak turunanmu yang berambut gondrong, niscaya dia tak akan bisa tidur malam. Inilah pacaduan!

Nah, di tempat Kakekku lahir, desa Cicadas Sumedang, sampai hari ini tak pernah diadakan pertunjukan wayang golek. Bukan karena warga tak suka, tapi ini berkaitan dengan pacaduan seorang tokoh masyarakat Cicadas di masa lalu. "Aku bersumpah (cadu), jika ada yang mengelar pertunjukan wayang di sini, akan ada rumah yang terbakar!". Dulu sejarahnya, pernah ada warga yang menggelar pertunjukan wayang. Bersamaan dengan itu, terjadi kebakaran hebat beberapa rumah. Akhirnya, keluarlah pacaduan 'mengharamkan wayang' itu dari lisan seorang tokoh desa Cicadas. Karena meyakini, pagelaran wayang golek telah membuat kebakaran rumah.

Tahun 1980, pernah ada orang Bandung yang berpikiran modern, menetap di desa Cicadas, dan mengetahui sumpah itu. Dia berhasil meyakinkan masyarakat sekitar, bahwa pagelaran wayang golek dan kebakaran yang terjadi masa lalu, itu hanya kebetulan belaka. Pagelaran wayang golek pun diadakan, untuk memberangud mitos tersebut. Namun di saat dalang baru naik panggung, sebuah kebekaran terjadi kembali. Dari pengalaman ini, desa Cicadas tak mau lagi mengadakan pagelaran wayang golek sampai sekarang.

Berbeda dengan pengalaman dosenku yang berasal dari Cianjur, dimana di daerahnya ada juga pacaduan mengenai wayang. Aku lupa nama kampungnya, tapi begini ceritanya.

Sekitar tahun 2015, kemarau panjang pernah melanda sebagian daerah di Jawa Barat, termasuk Cianjur. Karena sudah terlalu lama sulit mendapatkan air, warga masyarakat dipimpin kyai-kyai MUI sekitar melakukan shalat istisqa di banyak masjid, agar hujan bisa segera turun. Sayangnya, air langit yang didamba tak juga jatuh.

Sebab mengerti sejarah masa lalu tentang daerahnya, dosenku mengusulkan agar di desa ini diadakan pagelaran wayang golek, bahkan ia siap menjadi dalangnya. Awalnya masyarakat tak setuju dengan usulan aneh ini, tapi setelah didesak, mereka akhirnya mau. Ketika seluruh peralatan wayang siap, dengan dosenku sebagai dalangnya, pagelaran dimulai. Baru satu tokoh wayang ditancapkan, tanpa diduga, hujan yang lama dinanti itu turun dengan derasnya. Semua warga tentu takjub dan merasa bersyukur atas hujan pertama ini, meski mereka tak mampu mengerti mengapa ini bisa terjadi. Dosenku kemudian menjelaskan, bahwa di masa lalu, tokoh desa ini sangat benci kepada wayang, lalu ia melakukan sumpah dan pacaduan, "Jika ada yang menggelar wayang golek di desa ini, maka akan turun hujan!".

Alhasil, Pacaduan yang awalnya dimaksudkan sebagai kutukan, oleh dosenku dimanipulasi menjadi rahmat dan keselamatan banyak orang.

Edan!

Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2013 @ Pena Sanghyang Mughni Pancaniti
"Template by Maskolis"