Home » » ISTRI DAN IBU (DUA CINTA YANG SALING CEMBURU)

ISTRI DAN IBU (DUA CINTA YANG SALING CEMBURU)

Written By Sanghyang Mughni Pancaniti on Sabtu, 02 Juli 2016 | 09.34


"Yang paling memenuhi diri wanita adalah cemburu!" Itu mungkin yang kuteriakan pada diriku sendiri. Kecemburuan yang kerap berdetak pada diri wanita, itu adalah bukti, jika cintanya tidaklah main-main! Rasa cemburu itu seolah sengaja dipelihara di dalam hati, agar yang dicinta mau mengerti, bahwa pengkhianatan adalah sesuatu yang keji.

Banyak orang yang berkata, bahkan Tuhan sendiri suka cemburu. Lha, Tuhan tak butuh apapun, lalu kenapa harus cemburu? Begini kukira jawabannya, sebab Dia tidak menciptakan semuanya bukan untuk iseng-iseng saja.! Dia dengan sengaja menumbuhkan kecemburuan dalam diri-Nya, karena Dia memang berniat untuk main cinta dengan hamba-hamba-Nya. Cemburu menjadi bagian dalam cinta, bagian yang tidak hanya penting, tapi juga memperindah proses cinta. Kecemburuan diperlukan ketika cinta kasih dikukuhkan, maupun ketika dipelihara dan ditingkatkan.

Kemahacemburuan Tuhan dibuktikan-Nya, bahwa Dia paling tak sudi untuk dimadu seorang hamba. Dia akan memafkan segala dosa, tapi tidak dengan laku 'mendua'! Dalam menghadapi segala dosa, Dia akan menjelma menjadi Dzat yang Maha Pemaaf, tapi jika dosa itu adalah memadu-Nya, Dia akan mewujudkan diri-Nya menjadi Dzat yang Maha Mengerikan. Itu karena Dia cinta! Cinta!

Dengan keadaan wajahku yang tak jelek, tapi gagal juga disebut tampan, istriku kerap cemburu melalui tanya. "Apakah ada wanita yang main ke toko? Beli buku apa? Cantik tidak?". Atau saat aku menonton televisi yang kebetulan ada artis wanita, dia meruntuhkanku, "Aku sadar, tak bisa secantik dia.". Tentu pertanyaan-pertanyaan itu membuatku kikuk dan salah tingkah, tapi aku tak pernah marah, karena begitulah wanita, mencoba membuktikan cinta. Biarkan saja!

Ibuku pun sama, dia pencemburu juga. Dengan siapa aku bergaul, dengan siapa aku menjalin relasi, dengan siapa aku berpacaran, dia pasti akan ikut andil untuk mempertanyakannya. Ibu selalu ingin aku terus di sampingnya, tak boleh tinggal si tempat yang jauh, agar dia tetap bisa menatap dan memperhatikanku. Kecemburuan itu, lagi-lagi adalah bukti cinta sang wanita.

Ada peristiwa yang kerap dialami seorang suami, dan membuatnya selalu merasa hancur, hatinya tercabik, dan perasaannya goncang, yaitu ketika dua wanita yang dicintainya, istri dan ibu, saling cemburu. Bukankah tak jarang, jika suami berbuat baik pada ibu, seorang istri diam-diam merasa cemburu? Pun sebaliknya!

Selama aku berumah tangga, aku harus jujur, peristiwa kecemburuan antara istri dan ibuku tak pernah terjadi. Kalaupun terjadi, mungkin hanya berdetak di hati mereka masing-masing, atau bahkan tak ada?

Kelak, jika peristiwa kecemburuan antara dua wanita yang dicinta itu memasuki hidupku, aku akan merintih kepada ibu, "Bu, saat kau izinkan aku menikahi seorang wanita, maka anakmu jadi bertambah. Jika aku sedang memperlihatkan cintaku padanya, sesungguhnya pada waktu yang sama, aku sedang mencintaimu. Karena kau pasti tak akan sudi, tak akan rela, jika aku melukai dan tak memuliakan hati yang telah menjadi anakmu itu."

Kepada istriku pun, aku akan langsung berbisik, "Sorgaku ada pada ibuku, dan Sorgamu ada padaku. Bantu dan izinkan aku berbakti pada ibuku, agar kita bisa masuk Sorga bersama-sama."

Dari dulu aku selalu berpikir, banyak hal yang terhubung dan tersambung. Tak bisa dipisah-pisah. Terutama tentang cinta, dia tak bisa dijelmakan menjadi hitungan persen. Aku mencintai Tuhan sebagai bukti bahwa aku mencintai semesta-Nya. Juga saat aku mencintai semesta, itu sebagai bukti jika aku mencintai Tuhan. Atau ketika aku mencintai Muhammad, itu adalah bukti jika aku mencintai Tuhan. Dan ketika aku mencintai Tuhan, itu bukti bahwa aku mencintai Muhammad. Banyak cinta yang semacam ini, yang bagiku tak perlu dibanding-bandingkan, apalagi ditanya takaran.

Maka ketika ada yang bertanya padaku tentang pola cintaku, "Siapa yang lebih kau cintai? Istrimu atau ibumu?"

Karena itu adalah pertanyaan yang tolol, aku memilih untuk tidak memilih.

Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2013 @ Pena Sanghyang Mughni Pancaniti
"Template by Maskolis"