Prof. Afif Muhammad, demikian ia dikenal dan dipanggil. Dalam dunia akademis, ia adalah salah satu guru besar yang dimiliki kampus UIN Bandung. Dalam dunia literasi, dia adalah seorang penulis dan penterjemah.
Jika anda menemukan beberapa buku Ali Syariati, Murtadha Muthahari, Sayyid Quthub, Muhammad Rasyid Ridha, Hassan al-Banaa, juga pemikir-pemikir besar yang bukunya diterbitkan Mizan (lama), Pustaka Hidayah, atau Pustaka Salman ITB, tengoklah halaman ketiga, kemudian lihat nama penerjemah, kerap ada nama prof. Afif Muhammad disana. Sebab ia sudah menterjemahkan buku-buku -terutama- pemikiran Islam lebih dari 100 judul.
Saya ingin mengenang awal perjumpaan dengannya.
Ibu saya dan Kyai Bedus, sebagai salah satu mahasiswa yang dibimbing Prof. Afif di Program Pascasarjana, seringkali membicarakannya penuh ta'dzim. Sehingga, meski tak pernah belajar dengannya, tak pernah berbincang bersamanya, namanya cukup kuat di ingatan saya.
Dimulai melalui inbox facebook beberapa tahun lalu, ia memesan beberapa buku yang saya upload. Saya tentu bahagia, karena beberapa buku yang saya jual disenanginya. Keesokan harinya, ia berkunjung ke toko saya untuk pertama kali. Tak hanya untuk mengambil buku pesanan, tapi juga untuk melihat-lihat koleksi saya yang lain.
Ada keanehan menjalar di hati saya, ketika melihat buku-buku yang dibelinya kebanyakan adalah karya sastra. Sebab setahu saya, di lingkungan kampus tempatnya mengajar, karya-karya sastra seperti novel kerap disepelekan, terutama oleh para dosen. Seperti tau yang saya pikirkan, Prof. Afif melemparkan keluhnya, "Kalau dosen tak suka baca karya sastra, bagaimana pengetahuannya mau bertambah?"
Saya tak mengerti, mengapa sastra dan pengetahuan tak terpisahkan.
"Dari semenjak dulu, saya sangat menyenangi buku sastra. Makanya saya suka baca karya semacam Umar Kayam, Pramoedya Ananta Toer, HB. Jassin, Sitor Situmorang, Kuntowijoyo, Ajip Rosidi, NH. Dini, Putu Wijaya, Karl May, Tolstoy, Charles Dickens, Boris Pasternak, Millan Kundera dan lainnya. Apalagi buku-buku cerita silat seperti karya Kho Ping Hoo, duh itu tidak pernah bosan bacanya." lanjutnya sambil tertawa-tawa.
Saya kira, kedatangan Prof. Afif ke toko adalah yang awal dan yang akhir, tapi rupanya, ia mulai sering mengunjungi toko dan membeli buku dalam jumlah yang tak sedikit. Saya tahu, Toko Buku Kebul bukan satu-satunya yang ia kunjungi. Namun beberapa toko buku di UIN seperti Iqro, Bintoro Barokah, IBC dan lainnya, menjadi tempatnya berburu buku.
"Sebentar lagi saya mau pensiun. Di masa pensiun itu, saya ingin menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis." ucapnya waktu itu.
Seperti yang diakuinya, kenapa beberapa tahun terakhir ini ia banyak membeli buku, sebab ratusan koleksinya hilang. Àda yang lupa menyimpan, ada yang dipinjam tapi tak dikembalikan. Dan yang paling mengenaskan, ribuan bukunya hancur saat genting rumahnya tobros oleh air hujan. Itu sebabnya, saya selalu menyaksikan bagaimana luapan kebahagiaan di wajahnya, ketika menemukan sebuah buku.
"Buku-buku yang hilang dan hancur itu, belum semuanya sempat saya baca. Jadi kalau saya mendapatkannya kembali, saya langsung membacanya sampai selesai. Saya takut hilang lagi. Bahkan saya suka menimang-nimang buku itu karena saking senangnya.." tutur Prof. Afif dengan bahagia yang tak luruh dari wajahnya. Ia seperti seorang pecinta yang dipertemukan dengan yang lama dirindunya.
Di tengah kegersangan literasi di dunia akademisi, di tengah dunia kampus yang akhir-akhir ini alergi pada sebagian buku, di tengah menumpuknya para dosen dan mahasiswa yang enggan membaca, Prof. Afif bagaikan oase yang menghilangkan dahaga.
Dan satu lagi. Di tengah banyaknya akademisi serta intelektual yang angkuh dan sombong, melihat kerendahatian Prof. Afif Muhammad, saya seperti menemukan sorga.
Sungkem!
(Profesor dan Tukang Buku)
Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
0 komentar:
Posting Komentar