Diam, melirih, merindu, bergumam kecil, geleng-geleng kepala,
meneteskan air mata, dan sedikit tersenyum kulakukan di kamar tidurku.
Sendiri. Hanya sendiri. Di sudut ruang berukuran 3X4 M ini, ada sebuah
meja kecil yang diatasnya ada bingkai tegak berdiri, bergambar segurat
wajah wanita yang sorot matanya selalu menyinari diri yang sepi, diri
yang terkadang tak mampu menahan nyeri, diri yang setiap hari
mentertawakan wajah jiwanya sendiri.
Sorot kedua matanya membuatku takut, membuatku merinding, namun
sekaligus memaksaku untuk semakin tajam menatapnya. Padahal aku takut.
Seperti ada sesuatu yang ingin ia sabdakan, seakan ada sekumpulan
nasihat yang ingin ia bisikan. Tapi apa? Aku tak tahu. Aku tak ingin
asal menebaknya. Maklum, aku adalah sesosok manusia yang sering dikepung
rasa sia-sia, rasa bersalah, rasa amat kotor, rasa banyak bacot, rasa tak berbuat, meski ia akan tetap duduk abadi jika aku menebak-nebak apa yang ingin dirinya katakan.
Aku curiga, wanita dalam bingkai itu ingin berkata, “Awalilah
setiap langkahmu dengan asma Tuhan. Selalulah memohon ampun atas sikapmu
yang selalu merasa punya nama, yang tak kunjung tahu bahwa segala
sesuatu akan hanya tinggal satu, Dia. Hanya Dia. Tuhan. Kau adalah
kepunyaan-Nya, kau tidak abadi, kau tidak sejati.”
Atau mungkin ia ingin bergumam, “Mencintalah secara dewasa, yakni
kesediaan untuk berkorban. Untuk hal-hal yang menyenangkan, kekasih yang
harus kau dahulukan. Sebaliknya, untuk hal-hal yang menyengsarakan, kau
lah yang harus tegak berdiri di garis depan.”
Tapi bisa saja ia hanya ingin berbisik, “Aku akan selalu
mencintaimu, akan selalu merindukanmu, akan selalu menggagas do’a dan
cita untukmu, masa sekarangmu, dan masa esokmu.”
Entahlah, sebenarnya apa yang ingin ia katakan. Wajah itu memang
selalu mengundang teka-teki. Wajah yang jika aku melihatnya dalam
keadaan sedih, hatiku benar-benar akan bersimbah darah. Wajah dalam
bingkai itu adalah seseorang yang memungkinkanku untuk menangis meski
telah dewasa. Cukup dengan menatap wajahnya, yang penuh rindu dan cinta,
air mataku bisa tiba-tiba merebak.
Sudahlah, aku sungguh tak mampu mentafsirkan, atau sebatas
menggambarkan yang ingin ia katakan kepadaku, walau sedikit. Meski pun
begitu, aku ingin memeluknya walau ia ada dalam bingkai, lalu kukatakan
sesuatu kepadanya, “Ibu.. Aku mencintaimu. Kau tak bisa mati dalam
hidupku. Sampai larut malam usiaku nanti, ibu menanggung cintaku.”
Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
0 komentar:
Posting Komentar